Beranda | Artikel
Siapa Yang Membedakan Bentuk-Bentuk Bidah?
Kamis, 25 Mei 2006

SIAPA YANG MEMBEDAKAN BENTUK-BENTUK BID’AH?

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Ketahuilah bahwa arti sunnah menurut bahasa adalah : “cara atau jalan”. Dan tidak diragukan bahwa orang-orang yang mengikuti cara dan jalan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah kelompok Ahlus Sunnah. Sebab pada masa itu belum terjadi bid’ah. Sesungguhnya terjadinya berbagai hal yang baru dan bentuk-bentuk bid’ah adalah setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.[1]

Atas dasar ini, maka tidak setiap orang yang membaca tulisan, mendengar ceramah atau mencermati suatu masalah dari beberapa buku dapat membedakan antara bid’ah dan yang bukan bid’ah dengan gampang dan mudah. Tetapi bagi orang yang ingin membedakan antara bid’ah dan yang bukan bid’ah harus mengerti dua hal.

1. Mengetahui sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah-sunnahnya. Sehingga dia menguasai yang menjadi dasar dan kaidah dalam membedakan antara sunnah dengan bid’ah.

2. Mengetahui ilmu dasar-dasar bid’ah untuk memudahkan dalam penerapan kaidah dan mengeluarkan hal-hal yang cabang dari hal-hal yang pokok.

Tidak diragukan lagi, bahwa mengetahui dan mampu memahami kedua hal tersebut adalah yang memberikan kemahiran pencari ilmu dalam menyimpulkan hukum yang kuat dan jauh dari keraguan dan kesalahan.

Dalam hal ini terdapat banyak contoh dalam sejarah keilmuan Islam yang menjelaskan bahwa tidak menguasai kedua hal tersebut seringkali memutarbalikan kebenaran dalam suatu masalah sehingga yang sunnah menjadi bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah.

Sebagai contoh adalah yang disebutkan As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba (hal.301), bahwa mendirikan bangunan dengan kapur dan batu adalah bid’ah. Padahal yang seperti itu sama sekali bukan dalam masalah ibadah, tetapi hanya dalam masalah kebiasaan manusia!

Contoh lain adalah yang diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waaqash Radhiyallahu ‘anhu.

أنه سمع رجلا يقول في تلبيته : لبيك ذا المعارج ، فقال له : إن الله ذو المعارج, و لكن لم نكن نقول ذالك مع النبي صلى الله عليه و سلم

Bahwa dia mendengar seseorang yang ketika dalam talbiyah berkata, “Labbaika Dzal Ma’arij”. Maka dia berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah adalah Dzul Ma’arij, tetapi kami tidak mengatakan demikian itu bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Ini adalah gambaran yang jelas, yang menunjukkan sejauh mana tingkat pengetahuian sahabat yang agung ini dan pemahamannya terhadap kaidah-kaidah yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dia mengingkari sesuatu yang berkaitan dengan ibadah yang tidak dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi dia –semoga Allah meridhainya- tidak mengetahui bahwa talbiyah tersebut pernah didengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para sahabat dan beliau tidak melarang mereka. Abu Dawud (183), Ahmad (14480) dan Al-Baihaqi (V/45) meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu tentang talbiyah : “Labbaika Allahumma Labbaik” dan didalamnya disebutkan tambahan kalimat.

و الناس يزيدون ذا المعارج و نحوه من الكلام و النبي صلى الله عليه و سلم يسمع فلا يقول لهم شيئا

Dan manusia menambahkan Dzal Ma’arij dan yang sepertinya, sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal tersebut dan tidak mengatakan apa pun kepada mereka”.

Ini adalah ketetapan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka atas tambahan talbiyah. Dengan demikian, maka talbiyah tersebut sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya.

Dalam kasus seperti ini, orang yang melakukan atau mengatakannya tidak bisa dipersalahkan, kecuali menyatakan satu hal, yaitu bahwa kekurang tahuan tentang sirah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya menghantarkan kepada pengambilan kesimpulan yang tidak tepat, sebagaimana anda ketahui.

Jadi dua syarat tersebut mempunyai posisi yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui bentuk-bentuk bid’ah dan membedakannya dengan sunnah.

Lihatlah bagaimana seorang sahabat utama yang terbina dalam naungan wahyu! Walau kondisi dia seperti itu, tapi masih ada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari pengetahuannya karena ia tidak mencermatinya sehingga dia mengingkari orang yang melakukannya ! Lalu bagaimana dengan orang selain dia yang tingkatannya di bawahnya, yaitu orang-orang yang hidup pada masa sekarang atau sebelumnya ?!

Contoh lain yang berkaitan dengan dua syarat tersebut adalah seperti kisah yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (973) dari Ummil Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : “Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu meninggal, isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus agar mereka (kaum Muslim) membawa jenazah ke masjid sehingga mereka (isteri-isteri Nabi) dapat menshalatkannya. Maka mereka (para sahabat) melakukan itu, dan jenazah Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu di simpan di arah kamar isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menshalatkannya. Lalu jenazah dikeluarkan dari Babul Janaiz yang ada di Al-Maqa’id.

فبلغهن أن الناس عابوا ذلك وقالوا ما كانت الجنائز يدخل بها المسجد فبلغ ذلك عائشة فقالت ما أسرع الناس إلى أن يعيبوا ما لا علم لهم به عابوا علينا أن يمر بجنازة في المسجد, و الله ما صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم علي سهيل بن بيضاء و أخيه إلا في جوف المسجد

Lalu sampai kepada mereka (isteri-isteri Nabi) bahwa manusia mencela hal tersebut seraya berkata, “Ini adalah bid’ah!”[2], Tidak pernah ada jenazah yang dibawa masuk ke masjid!”. Maka ketika hal itu sampai kepada Aisyah, dia berkata. “Betapa cepatnya manusia mencela apa yang mereka tidak tahu! Mereka mencela kami karena meminta jenazah di lewatkan di masjid! Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalatkan Suhail bin Baidha dan saudaranya kecuali di masjid!

Lihatlah bagaimana keshahihan dalam landasan hukum, yang disertai oleh kekurang pahaman secara rinci dalam penerapannya menjadikan seseorang jatuh dalam kesalahan!

Di sini kami perlu menyebutkan hal penting yang berkaitan dengan kajian ini, yaitu tentang perkataan orang-orang ketika ditetapkan suatu perbuatan sebagai bid’ah atau salah, bahwa kebanyakan dari mereka yang menentang kebenaran menganggap bahwa para penyeru Sunnah tidak menghargai para imam dan meremehkan ulama masa lalu! Mereka menganggap bahwa di antara para penyeru Sunnah ada yang menyamakan dirinya dengan para imam dan ulama, ketika para penyeru Sunnah mengatakan, “Kami adalah orang dan mereka pun juga orang!”

Demikianlah dalih mereka, dan betapa buruknya anggapan mereka!

Sesungguhnya para penyeru Sunnah memahami kedudukan para ulama, menghargai mereka dan menjaga hak mereka. Namun para penyeru Sunnah –semoga Allah memberikan keberkahan kepada mereka- mengerti bahwa ukuran sesuatu yang mendekatkan kepada Allah bukan individu atau ke tokohan seseorang, tetapi sifat-sifat mulia yang dimiliki seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, baik dengna ilmu atau ibadah.

Meskipun demikian, maka sesungguhnya para penyeru sunnah menyanggah tuduhan yang dilontarkan kepada mereka dengan berpedoman kepada perkataan orang yang menjelaskan sifat ulama dan para imam masa lalu.

“Mereka adalah para tokoh, dan aib bila orang yang tidak mempunyai sifat-sifat mereka dikatakan sebagai tokoh”

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_______
Footnote
[1]. Al-Muntaqa An-Nafis : 38 oleh Ibnul Jauzi. Dan darinya As-Suyuthi menukil dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba : 81
[2]. Tambahan ini dari Sunan Al-Baihaqi IV/51


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1843-siapa-yang-membedakan-bentuk-bentuk-bidah.html